Senin, Desember 3

Kebudayaan sebagai Tuntunan dan Tontonan

Membicarakan masalah kebudayaan selalu mengandung dan mengundang polemik. Karena jangkauannya yang begitu luas, setiap pendapat baik mengenai esensi maupun instansi yang mengurus kebudayaan tidak pernah memuaskan semua pihak. Tetapi semua orang sepakat bahwa tak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan, dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya.

Kebudayaan merupakan sederetan sistem pengetahuan yang dimiliki bersama, perangai-perangai, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, peraturan-peraturan, dan simbol-simbol yang berkaitan dengan tujuan seluruh anggota masyarakat yang berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai “semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat”.

Dipandang dari wujudnya, menurut Koentjaraningrat, kebudayaan itu mempunyai paling sedikit tiga wujud, yaitu (1) wujud sebagai suatu kompleks gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan-peraturan; (2) wujud sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; dan (3) wujud sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Ketiga wujud kebudayaan tersebut dalam kenyataan kehidupan masyarakat tak terpisah satu dengan lainnya. Kebudayaan ideal dan adat istiadat mengatur dan memberi arah kepada tindakan dan karya manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide maupun tindakan dan karya manusia menghasilkan benda-benda kebudayaan fisik. Sebaliknya, kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatan dan cara berpikirnya.

Sedangkan bila dikaji dari segi unsurnya, setiap kebudayaan memiliki tujuh unsur pokok, yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian hidup atau ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kebudayaan adalah nilai-nilai dan gagasan vital yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Kalau demikian, dalam penyelenggaraan pemerintahan negara seolah-olah cukup dilaksanakan oleh satu Departemen Kebudayaan saja. Tetapi karena luasnya cakupan urusan kebudayaan itu, dalam kenyataannya tidak mungkin demikian. Urusan ekonomi, politik, pendidikan, agama, dan sebagainya dilaksanakan oleh departemen tersendiri. Direktorat Jenderal Kebudayaan sendiri, baik ketika tergabung dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan maupun dalam Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, hanya mengurus masalah-masalah kesenian, nilai budaya, sejarah, dan kepurbakalaan.

Selama ini instansi yang mengurus kebudayaan sering dianggap sebagai “Dinas Pengeluaran” saja dan dirasakan sangat membebani anggaran daerah. Hasil kerja instansi kebudayaan seringkali hanya berfungsi sebagai “arsip”, tidak dimanfaatkan untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat.

Program-program kesenian belum menumbuhkan kreativitas dan kemandirian. Khususnya di Kepulauan Bangka Belitung, para seniman sering tergantung dari bantuan pemerintah. Banyak seniman merasa bangga ketika proposalnya untuk aktivitas kesenian dikabulkan Pemerintah Daerah (Pemda). Hampir setiap tahun Pemda mengirimkan kontingen kesenian ke luar negeri dengan membebani APBD. Langkah ini baru menghasilkan seniman-seniman proposal, bukan seniman profesional.

Berbeda dengan seniman Bali dan Jawa, seperti Sardono W. Kusumo, Jaduk Ferianto, dan lain-lain misalnya, mereka melawat ke Eropa, Amerika dan sebagainya atas biaya pihak pengundang karena karya-karya mereka dianggap bernilai tinggi.
Sebenarnya semua orang sepakat bahwa kebudayaan mempunyai kegunaan yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Hasil karya masyarakat, yang menimbulkan teknologi mempunyai kegunaan utama dalam melindungi masyarakat terhadap lingkungan alamnya. Hasil rasa, berupa norma-norma dan nilai-nilai kemasyarakatan sangat perlu untuk mewujudkan tata tertib dalam pergaulan kemasyarakatan. Sedangkan hasil cipta berguna untuk mengungkapkan pikiran, perasaan dan keinginan kepada orang lain, berupa misalnya filsafat, ilmu pengetahuan, kesenian, kesusastraan, dan sebagainya.

Sebagai sebuah sistem, kebudayaan tidak pernah berhenti. Ia senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan, baik karena dorongan-dorongan dari dalam maupun dorongan dari luar. Interaksi antara komponen-komponen budaya dapat melahirkan bentuk-bentuk simbol baru. Oleh karena itu tidak mungkin kebudayaan lama dapat dipertahankan secara mutlak dan murni seluruhnya, baik kebudayaan jasmaniah (material culture) maupun kebudayaan rohaniah (spiritual culture). Hanya unsur-unsur kebudayaan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakatlah yang dapat bertahan.

Salah satu contoh, kerito surong hasil teknologi masa lalu sebagai alat transportasi untuk mengangkut hasil bumi masyarakat, sekarang tidak mungkin lagi dipaksakan untuk digunakan dengan alasan pelestarian kebudayaan daerah. Demikian pula dengan kebudayaan rohaniah seperti tradisi menyerang kelompok lain ketika anggota kelompoknya merasa terganggu oleh salah satu anggota kelompok lain tersebut, tidak layak lagi dipertahankan karena kita sudah memiliki sistem hukum pidana.

Sebaliknya unsur-unsur kebudayaan tertentu, seperti konsepsi gotong royong dalam masyarakat Indonesia masih tetap relevan untuk dipertahankan, karena pada hakikatnya manusia itu tidak dapat hidup tanpa bekerja sama dengan orang lain. Dalam implementasinya masih perlu terus dibina, supaya budaya ini benar-benar berfungsi sebagai kekuatan pendorong pembangunan masyarakat. Budaya ini juga dapat mengurangi sikap ketergantungan kepada pemerintah. Pada masyarakat tertentu, pembangunan jalan setapak di lingkungan permukiman sudah dapat dikerjakan sendiri secara swadaya. Bandingkan dengan masyarakat kita di Babel ini, pembangunan kakus umum saja minta bantuan kepada orang asing melalui Proyek P2D!

Berdasarkan perubahan dan perkembangan kebudayaan tersebut, maka fungsi kebudayaan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu (1) kebudayaan sebagai tuntunan; dan (2) kebudayaan sebagai tontonan.

Kebudayaan yang berfungsi sebagai tuntunan adalah kebudayaan rohaniah berupa antara lain norma-norma, nilai-nilai kemasyarakatan, tata kelakuan, religi, kesenian yang mengandung unsur religi, filsafat, dan ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan.

Sedangkan kebudayaan yang dapat berfungsi sebagai tontonan adalah kebudayaan fisik baik yang lama maupun baru, seperti benda-benda peninggalan sejarah dan purbakala; bangunan-bangunan baru berteknologi mutahir; kesenian; adat-istiadat yang unik; dan lain-lain.

Penggolongan ini tidak bersifat mutlak. Bisa saja salah satu unsur kebudayaan berfungsi sebagai tuntunan sekaligus sebagai tontonan. Tarian yang merupakan rangkaian ritual keagamaan tertentu, pada dasarnya berfungsi sebagai tuntunan bagi penganutnya, namun karena keunikannya menarik untuk ditonton oleh orang di luar agama tersebut.

Apabila kebudayaan dapat dikemas dalam bentuk tuntunan sekaligus tontonan, mungkin citra instansi yang mengurusnya akan berubah dari sekadar “Dinas Pengeluaran” belaka. Di era otonomi daerah ini masing-masing Pemda leluasa menentukan sikap dalam pembentukan dinas-dinas daerah.
Sebagai perbandingan, daerah-daerah yang maju bidang kebudayaan, pendidikan, dan pariwisatanya, seperti DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Bali, sejak masa Orde Baru pun sudah membentuk Dinas Kebudayaan terpisah dari Dinas Pendidikan. Kalau Pemda ingin mewujudkan kebudayaan sebagai tuntunan sekaligus tontonan akan lebih sesuai bila dibentuk Dinas Kebudayaan dan Pariwisata!

Tidak ada komentar: